Wanita Yang Ditinggal Suaminya Dalam Qurun Waktu Yang
Tak Terbatas
By : A. Roghib Azmi
Segala puji
hanya milik Allah I. Kepadanya kita menyembah dan memohon pertolongan. Shalawat
dan salam senantiasa tercurah kepada Rosulullah r , keluarganya,
shahabat-shahabatnya, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan orang-orang yang yang
senantiasa berpegang teguh kepada kebenaran.
Seiring
dengan perjalanan sejarah, kita memahami bahwa seorang muslimah
memiliki peranan yang sangat penting dan telah memberikan
kontribusi yang besar dalam proses pembangunan masyarakat islam. Demikianlah,
wanita diibaratkan sebagai senjata yang bermata dua. Apabila mereka baik dalam
menunaikan fungsi dasarnya sesuai dengan garis yang telah ditetapkan kepadanya
niscaya akan terbangun masyarakat islam yang teguh memegang agamanya dan
berakhlak mulia.
Akan tetapi,
apabila wanita menyimpang dari fungsi dasar yang telah digariskan oleh islam
kepadanya, berjalan pada jalur kesesatan, dan jauh dari rambu-rambu kebaikan,
saat itulah wanita menjadi senjata yang dapat merusak dan menghancurkan
masyarakat. Oleh karena itu, kita melihat bahwa islam memberikan perhatian yang
sangat besar kepada kaum wanita. Islam telah menjaga wanita dengan mendidik dan
memberikan perlindungan kepada mereka serta memberikan hak-hak mereka sesuai
dengan fitroh dan qodratnya. Perhatian ini adalah sesuatu yang tidak pernah
diberikan oleh umat manapun sepanjang masa.
Akan tetapi
seiring dengan perjalanan waktu, kaum wanita telah banyak mengalami berbagai
macam erosi, mulai dari kepribadian, akhlak, bahkan aqidah. Salah satunya
adalah krisis figur teladan. Wanita muslimah semakin jauh meninggalkan teladan
sejati mereka yang telah terbukti mampu memainkan peran positif mereka, baik
sebagai pribadi maupun sebagai istri. Semakin hari semakin besar tantangan yang
harus mereka hadapi.
Apalagi
akhir-akhir ini muncul sebuah fenomena yang sangat merisaukan dan mencemaskan
kaum hawa (muslimah). Mereka hidup tanpa disertai oleh suami-suami yang
sangat mereka sayangi. Baik suaminya pergi karena kesengajaan, atau karena
kondisi yang memaksanya, atau suaminya menghilang tanpa diketahui kabar serta
nasib yang menimpanya. Hal ini dipicu oleh munculnya para suami yang tidak
mengetahui akan hak dan kewajiban yang harus mereka penuhi, atau bahkan karena
maraknya penangkapan dan berbagai macam bentuk penculikan lainnya, yang
dilakukan oleh orang yang benci terhadap tegaknya islam dimuka bumi
ini. Sehingga istri yang ditinggalkan
berada pada kondisi serba salah antara menikah lagi, tetapi merasa malu atau
takut dicemooh dan dituduh sebagai seorang istri yang tidak setia kepada suami,
baik dari tetangga ataupun dari saudara-saudaranya sendiri. Akan tetapi jika ia
tidak menikah lagi, banyak masalah yang tidak mungkin dapat ia selesaikan
sendiri tanpa adanya seorang suami. Maka dengan makalah ini kami berharap
segala permasalahan yang kami ungkapkan didepan dapat terselesaikan dengan
baik, berdasarkan dalil-dalil atau pendapat para ulama yang ada.
Bagaimana sebenarnya islam menjawab permasalahan ini !
A. Definisi
wanita yang ditinggal suaminya
a. Secara
bahasa
Secara
bahasa iddah berasal dari kata عَدَّ- يَعُدُّ- عَدًا- adalah ism
dari kata kerja عَدَّ ِبمَعْنىَ إحْصَاءً وَمَعدٌوْدًا artinya
menghitung atau dihitung. (Kamus Al-munjid fi lughoh: 490)
Sedangkan jika dikatakan عِدَةُ المَرْأَةِ
, maka artinya: أَيَامُ أَقْرَائِهَا yaitu masa-masa suci bagi seorang
wanita. (Kamus al-muhit: 3/169)
b.
Secara istilah
Hari-hari
dimana wanita yang dithalaq (menjalani masa penantian). Pada masa-masa
tersebut, ia tidak boleh menikah dan tidak boleh minta dinikahi. Ini wajib
hukumnya bagi setiap wanita yang berpisah dengan suaminya, karena thalaq atau
karena suaminya meninggal dunia. (Minhajul muslim: 378) Masa menanti
atau menunggu bagi seorang wanita ketika rusaknya ikatan pernikahan atau
pernikahan yang syubhat dari bentuk pernikahan fasid atau hubungan yang syubhat
( tidakjelas ). (Al Aziz sarhul wajiz al ma’ruf bis syarhil kabir: 9/422-423)
Maka sebelum
kita membicarakan masalah ini, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa
sebenarnya hak-hak seorang istri yang harus dipenuhi oleh suami.
B. Hak-hak
istri yang harus dipenuhi oleh suami
Diantara
hak-hak istri atas suaminya adalah sebagai beikut:
- Menafkahi istrinya dalam bentuk makanan, minuman, atau tempat tinggal dengan cara yang baik, karena Rosulullah Shalallohu ‘alaihi wasallama pernah bersabda kepada orang yang bertanya tentang hak istri tehadap suami,
تُطْعِمُهَا
إِذَا أَكَلْتَ وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا
تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّافِي الْبَيْت
“Engkau
memberi makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakain,
tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekanya, dan engkau jangan
mendiamkanya kecuali didalam rumah.” (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Hiban.
Hadist ini dishahihkan Ibnu Hiban).
2. Memenuhi
kebutuhan biologisnya. Jadi suami wajib menggauli istrinya kendati cuma sekali
dalam setiap bulan jika tidak mampu memberikan layanan yang cukup baginya.
3. Menginap
dirumahnya semalam dalam setiap empat malam, karena itulah yang diputuskan pada
zaman pemerintahan Umar Rodhiyalloh ‘Anhu .
4. Istri
mendapatkan bagian yang adil dari suaminya jika suaminya mempunyai istri
yang lain. Karena Rusulullah shalallohu
‘alaihi wasallama pernah bersabda ;
مَنْ كَانَتْ
لَهُ امْرَأَتَانِ يَمِيلُ لِإِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَجُرُّ أَحَدَ شِقَّيْهِ سَاقِطًاأَوْ مَائِلاً
“Barang
siapa mempunyai dua istri kemudian ia condong ke salah satu dari keduanya dari
pada istri satunya, maka pada hari kiamat ia datang dengan keadaan menarik
salah satu pundaknya dalam keadaan jatuh dan miring.” (Diriwayatkan Ahmad)
5. Suami
berada disisi istrinya pada hari pernikahan dengannya selama seminggu jika
istrinya gadis dan selama tiga hari jika istrinya janda, Karena Rosulullah
Shalallohu ‘alaihi wasallama bersabda:
لِلْبِكْرِ
سَبْعَةُ أَيَامٍ وَلِلْثَّيِّبِ ثَلاَثٌ ثمُ َّيَعُوْدُ إِلىَ نِسَائِهِ
“Gadis
mempunyai tujuh hari dan janda mempunyai hak tiga hari, kemudian ia (suami yang
mempunyai istri lebih dari satu) kembali menemui istri-istrinya.” (Diriwayatkan
Muslim).
6. Suami
disunnahkan mengizinkan istrinya melawat salah seorang dari mahramnya, atau
melihat jenazah salah seorang dari mahramnya yang meninggal dunia, atau
mengunjungi sanak kerabatnya jika kunjunganya tidak merugikan kemaslahatan
suami. (Minhajul muslim:362)
C. Keadaan
suami yang meninggalkan istri:
a.
Kesengajaan dari sang suami
Jika suami
pergi meninggalkan istrinya karena kesengajaannya, maka mengenai hal ini perlu
didudukkan terlebih dahulu inti permasalahannya. Karena kejadian seperti ini
banyak kemungkinan yang melatarbelakangi. Akan tetapi, jika suaminya pergi,
tidak meninggalkan nafkah bagi istrinya serta tidak diketahui
keberadaannya. Maka mengenai hal ini, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi telah
menjelaskan hal tersebut didalam kitabnya minhajul muslim sebagai
berikut:
Jika suami
pergi, tidak diketahui domisilinya, tidak meninggalkan nafkah untuk istrinya,
tidak mewasiatkan sesorang untuk menafkahi istrinya, tidak ada orang lain yang
menafkahi istrinya, istri tersebut tidak memiliki sesuatu apapun untuk
menafkahi dirinya atau mencari suaminya. maka ia berhak membatalkan pernikahan
melalui hakim agama. Ia membawa masalahnya kepengadilan agama, pengadilan agama
harus menasehatinya, dan menyuruhnya bersabar. Jika istri tersebut menolak
nasehat pengadilan dan tidak bisa bersabar, maka hakim agama menulis laporan
dangan perantara saksi-saksi yang kenal dengan wanita tersebut dan kenal dengan
suaminya. Semua saksi berskasi tentang kepergian suami wanita tersebut dan
tidak kemampuannya memberikan nafkah kepada istrinya. Setelah itu, pernikahan
keduanya dibatalkan dan pembatalan tersebut adalah talak ruju’ dalam arti jika
suami wanita tersebut pulang maka berhak kembali kepada wanita tersebut. (Minhajul
muslim:361)
Hal ini
dikuatkan dengan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ketika beliau ditanya,
mengenai seorang wanita yang menikah dengan seoramg laki-laki. Setelah itu
suaminya pergi, meninggalkannya dalam kurun waktu 6 tahun dengan tidak
meninggalkan nafkah baginya. Kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki
lain. Maka bagaimana hukumnya?
Beliau
menjawab: “Apabila pernikahannya yang pertama telah dibatalkan, karena
suami tidak bisa memberikan nafkah. Setelah itu ia menjalani masa iddah,
kemudian menikah dengan orang lain, maka pernikahan tersebut dianggap syah.
Akan tetapi jika wanita tersebut menikah dengan orang lain, sedangkan
pernikahannya yang pertama belum dibatalkan, maka pernikahan tersebut batil
tidak (syah). (Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyah: 32/200, dan Taisirul ‘alam syarhul
‘umdatil ahkam: 2/350)
Pendapat di
atas senada dengan pendapat jumhur ulama: Seorang suami jika merasa kesusahan
mencukupi nafkah istrinya, setelah itu istrinya lebih memilih untuk
bercerai. Maka keduanya diceraikan dengan adanya udzur tersebut. Hal
disandarkan kepada hadist Rosulullah r yang diriwayatkan oleh Imam Darut Qutni
dari Abu Hurairah, ketika beliau bersabda tentang seorang suami yang tidak
mendapatkan sesuatu untuk menafkahi istrinya, maka beliau bersabda:
قَالَ
يُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا (رَوَاهُ الدَّارُ اْلقُطْنِي)
“Maka
keduanya diceraikan” ( Diriwayatkan Ad-Darul Qutni) (Nailul Author syarhul muntaqol
akhbar: 7/132-133)
b.
Dalam kondisi terpaksa ( Ditawan atau dipenjara )
a. Hukum
wanita yang suaminya ditawan atau dipenjara
- Menurut Doktor Wahbah Az-Zuhaili
Beliau telah
menjelaskan mengenai hal ini, Apabila orang yang ditawan tidak diketahui kabar
serta nasib yang menimpanya, juga tidak diketahui ia masih hidup atau sudah
meninggal serta tidak diketahui kemurtadannya. Maka ia dihukumi sebagai orang
yang hilang. Dengan demikian, hartanya tidak boleh dibagikan dan istrinya tidak
boleh menikah, sehingga keberadaannya diketahui dengan jelas.
- Menurut Doktor Yusuf Al-Qaradawi
Ketika
beliau ditanya tentang seorang istri dinegara palestina yang suaminya dihukumi
penjara sangat lama, apakah ia boleh meminta cerai?
Beliau
menjawab, seorang istri hendaknya bersabar dan menunggu suaminya kembali. Tugas
seorang istri yang dalam berjihad adalah bersabar atas suaminya yang menjadi
tawanan musuh, jika ia mempunyai anak. Tetapi jika tidak mempunyai anak, atau
yang masih muda belia dan masih berstatus sebagai pengantin baru, tidak apa-apa
ia minta cerai kepada suaminya yang dijatuhi hukuman cukup lama, sebab menurut
pendapat salah satu mazhab islam, apabila seorang suami meninggalkan istrinya
lebih dari empat tahun karena dipenjara atau karena alasan-alasan lain, sang
istri boleh meminta cerai kepadanya.
Dalam
keadaan ini idealnya sang suami yang mengambil inisiatif, hendaknya ia segera
menemui istrinya untuk memberikan pilihan dan menyerahkan urusan kelangsungan
kehidupan rumah tangganya kepadanya. Sebelum terpaksa istri menuntut perceraian
kepengadilan. Ini adalah cara terbaik bagi hubungan seorang laki-laki dan
perempuan sesama muslim. Apalagi kalau keduanya termasuk aktivis islam
dibidang dakwah dan perjuangan. (Fatwa-fatwa kontemporer: D.r Yusuf Al-Qaradawi
713)
- Sedangkan menurut ijma’
Bahwa istri
dari seseorang yang di tawan tidak boleh menikah sampai ia yakin akan kematian
suaminya. Ini adalah pendapat An-Nakhoi, Az-Zuhri, Yahya Al-Ansor Makhul,
As-Syafi’i, Abu ‘Ubaida, Abi Saur, Ishaq dan Ashabul ro’yi. (Al-Mughni, Ibnu
Qudamah: 11/247)
hal ini dikuatkan oleh kesepakatan seluruh
mazahib bahwa, jika ketidakberadaannya tidak terputus (hubungannya dengan
istrinya) sama sekali dimana laki-laki tersebut masih diketahui tempatnya dan
masih pula diterima kabar beritanya. Maka, istriya tidak boleh menikah dengan
laki-laki lain. (Fikh Lima mazhab: 204)
c. Hilang tidak diketahui kabar keberadaannya
a. Defenisi
Mafqud (orang yang hilang):
Mafqud
adalah hilangnya seseorang dari suatu tempat, tidak di ketahui kabar dan
keberadaannya secara pasti, serta tidak diketahui apakah dirinya masih hidup
atau sudah meninggal dunia.
Maka hakim
mengambil sebuah keputusan berdasarkan petunjuk yang ada. Misalnya: Pertama,
dengan persaksian orang-orang yang dapat dipercaya. Maka pada kondisi seperti
ini, orang tersebut dihukumi sebagai orang yang telah meninggal secara hakiki
karena adanya saksi. Kedua, berdasarkan tanda serta alamat yang ada,
karena tidak ada petunjuk yang jelas mengenainya yaitu setelah berlalunya waktu
(yang lama). Dan pada kondisi seperti ini, hakim menghukuminya sebagai
orang yang telah meninggal secara hukumi, karena berlalunya waktu yang lama,
karena masih ada kemungkinan orang tersebut masih hidup. (Fiqh sunnah: 2/453)
b. Hukum
wanita yang hilang suaminya
Mengenai hal
ini ada dua kemugkinan yang terjadi:
- Seorang yang hilang tersebut secara dzhohir di ketahui akan keselamatannya. Seperti orang yang pergi untuk mengadakan perdagangan ditempat yang aman, menuntut ilmu, atau untuk keperluan siyahahah. Maka dalam hal ini, menurut Imam Malik dan As-Syafi’i (al qodim) sebagai berikut,
- Orang yang hilang tersebut secara dzohir telah meninggal dunia. Seperti, orang yang hilang ketika malam atau siang hari ditengah-tengah keluarganya, atau hilang ketika pergi kemasjid, atau pergi ketempat yang dekat untuk memenuhi kebutuhanya kemudian tidak kembali, atau hilang ditengah-ditengah shof pertempuran, atau hilang ketika menaiki kapal kemudian tenggelam sebagian penumpangnya, atau orang yang hilang ditempat yang tidak aman seperti didataran hijaz atau yang semisalnya. Maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Maka dalam
hal ini, Seorang istri pada kondisi seperti
ini hendaknya menunggu 4 tahun, kemudian setelah itu beriddah dengan
iddah seorang istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu selama 4 bulan lebih 10
hari. Setelah itu halal baginya untuk menikah lagi. Hal ini disandarkan kepada
perkataan Umar Rodhiyalloh ‘Anhu mengenai seorang istri yang suaminya
menghilang, beliau berkata;
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَا فَلَمْ تَدْرِ أَيْنَ هُوَ فَإِنَّهَا تَنْتَظِرُ
أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَأَشْهُرٍعَشْرًا ثُمَّ تَحِلّ
“Setiap
perempuan yang kehilangan suaminya dan tidak tahu dimana suaminya berada, maka
ia menunggu selama 4 tahun, setelah itu ia beriddah selama 4 bulan 10 hari, kemudian
halal baginya untuk menikah lagi.” (Diriwayatkan Imam Malik di dalam muwatho’).
Pendapat di
atas berdasarkan pendapat Imam Ahmad, Malik dan mazhab hambali dan pendapat
merupakan pendapat Umar, Ustman, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ato’, Amru bin
Abdul Aziz, Al-Hasan, Az-Zuhri, Qotadah, As-Syafi’i (al-qodim ) dan imam
Malik Beliau berkata, Waktu yang di perlukan untuk menghukumi kematian
seseorang yang hilang ialah 4 tahun, karena Umar Rodhiyalloh ‘Anhu
beliau pernah berkata: (Al-Mughni, Ibnu Qudamah: 11/247-249)
Hal ini
sebagaimana yang telah dilakukan Umar bin Khattab, kepada seorang wanita yang
ditinggal suaminya, kemudian menghilang tidak diketahui kabar keberadaannya.
Maka datanglah istri tersebut kepada Umar Rodhiyalloh ‘Anhu dengan
mengutarakan hal tersebut, Maka Umar Rodhiyalloh ‘Anhu berkata
kepadanya:
تَرَبَّصِيْ
أَرْبَعَ سِنِيْنَ؟ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَتَتْهُ فَقَالَ تَرَبَّصِيْ أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ وَعَشْرًا؟ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَتَتْهُ فَقَالَ أَيْنَ وَلَيُّ هَذَا
الرَّجُلُ ؟ فَجَاؤُوْا بِهِ فَقَالَ طَلِّقْهَا ؟ فَفَعَلَ فَقَالَ عُمَرُ
تَزَوَّجِي مَنْ شِئْتِ؟
“Tunggulah 4
tahun?” kemudian wanita tersebut melaksanakan perintah tersebut. Setelah
berlalu 4 tahun, (perempuan tersebut datang kembali) menghadap Umar Rodhiyalloh
‘Anhu. Maka umar berkata kepada dirinya (untuk kedua kalinya), “Beriddahlah 4
bulan 10 hari?” kemudian wanita tersebut melaksanakan perintah tersebut.
Setelah berlalu waktu tersebut, maka wanita tersebut datang kembali menghadap
Umar Rodhiyalloh ‘Anhu. Maka Umar berkata kepadanya untuk (ketiga kalinya),
“Dimana wali suamimu ?”. Setelah itu wanita tersebut (pulang), kemudian datang
kembali bersama wali suaminya. Maka umar berkata kepada walinya, “Ceraikanlah
istri anakmu ini?”. Kemudian wali tersebut melaksanakan apa yang diperintahkan
Umar kepadanya. Setelah itu Umar berkata kepada Wanita tersebut, “Nikahlah
kepada siapa saja yang engkau kehendaki. (Diriwayatkan oleh Darut Qutni ) (Al-Fiqh al-islami wa adilatuhu:
7/643-644)
b. Orang yang hilang dimedan peperangan
- Imam Malik berkata :
Tidak ada
masa menunggu bagi seorang wanita yang suaminya hilang di medan
perang.
- Said bin Musayib berkata:
Orang yang
hilang ditengah shof pertempuran, maka bagi istrinya cukup menunggu satu
tahun saja. Karena kemungkinan meninggalnya itu lebih besar daripada ditempat
lainya. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah: 11/247-249) Sedangkan dalam riwayat
Asyhab dan Ibnu Nafi’ dari Malik, Beliau memberi waktu satu tahun bagi seorang
istri supaya menunggu suaminya yang hilang di medan peperangan. Kemudian
setelah itu, istrinya boleh menikah setelah beriddah. Hal ini boleh dilakukan
ketika suaminya ikut peperangan seperti perang khondak, andalus, atau
dinegara-negara yang sering terjadi peperangan atau peperangan yang terjadi
dinegara kaum muslimin. (Mawahib aljalil lisyarhi mukhtasor kholil: 5/506)
D. Jika
suami kembali sedangkan istrinya sudah menikah dengan orang lain
Jika istri
yang ditinggal suaminya, menikah dengan orang lain. Namun setelah pernikahan
tersebut dilaksanakan, suami yang pertama datang kembali. Maka dalam hal ini
Imam Ali berkomentar, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam syafi’i didalam
musnad bahwa beliau berkata:
هِيَ
اِمْرَأَتُهُ إِنْ شَاءَ طَلَقَ وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ وَلاَ تُخَيِّرْ
“Wanita
tersebut tetap menjadi istrinya. Akan tetapi jika ia menghendaki, ia boleh
menthalak atau menahannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan
Al-Baighowi). Dan imam Ali
juga pernah berkata:
لَوْ
تَزَوَجَتْ فَهِيَ اِمَرَأَةُ اْلأَوَّلِ دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ
“Seandainya
sudah menikah lagi, maka tetap ia menjadi istrinya, baik sudah digauli atau
belum digauli.” (Syarhul
sunnah: 5/498)
Abu Hanifah
dan Imam Malik berkata, Jika seorang istri yang ditinggal suaminya tersebut
menikah dengan orang lain, dan teryata sudah digauli. maka ia tetap menjadi
istri dari suami yang pertama. Begitu juga halnya jika dirinya belum digauli.
Hal ini sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Abdur Rozak, Baihaqi dan ibnu
Abi Syuaibah bahwasannya Umar Rodhiyalloh ‘Anhu:
خَيَّرَ
اْلمَفْقُوْدَ بَيْنَ اِمْرَأَتَهِ أَوْ اْلصَدَاقِ الَّذِي أَصْدَقَهَا
فَاخْتَارَ الصَدَاقَ لِأَنَّ زَوْجَتَهُ قَدْ حَبِلَتْ
“Beliau
(Umar Rodhiyalloh ‘Anhu) menawarkan kepada orang yang hilang (kemudian kembali
lagi), untuk memilih antara kembali kepada istrinya atau mengambil maharnya
saja. Kemudian orang tersebut memilih untuk mengambil maharnya, karena istrinya
telah hamil (dari pernikahannya dengan suami yang kedua). (Diriwayatkan oleh
Abdur Rozak, Baihaqi dan ibnu Abi Syuaibah) (As-Salsabil fima’rifati dalil: 4/76)
Imam
As-Syafi’i juga telah menjelaskan hal ini, tentang suami pertama jika datang setelah
istrinya menikah, maka ia tetap menjadi istrinya dalam kondisi apapun juga.
Setelah itu dilihat, jika belum digauli dengan suami yang kedua, maka ketika
itu juga keduanya disuruh bercerai. Setelah itu dirinya menjadi halal bagi
suami yang pertama. Akan tetapi jika sudah digauli. Maka ketika itu juga
dirinya disuruh bercerai dengan suami yang kedua, dan melaksanakan iddah. dan
dilarang bagi suami pertama untuk menggaulinya dimasa iddahnya, sampai waktu
iddahnya selesai. Jika sudah berlalu masa iddahnya, maka menjadi halal
baginya.” Al-Majmu’ (Syarhul Muhazab: 19/ 237-241)
Mengenai hal
ini sudah ada ketetapan ijma’ para sahabat sebagai berikut, apabila orang yang
hilang itu datang sebelum istrinya menikah, maka tetap wanita tersebut adalah
istrinya. Akan tetapi jika suaminya datang setelah istrinya menikah, akan
tetapi belum digauli, maka ia tetap menjadi istrinya juga. Sedangkan Jika suami
pertama datang setelah istrinya digauli, maka dirinya memilih antara kembali
kepada istrinya atau meminta maharnya saja.
Seandainya
ia memilih untuk kembali kepada istrinya, maka wanita tersebut menjadi istrinya
yang hak sesuai akad yang pertama. Dengan demikian tidak perlu bagi suami yang
kedua untuk menthalaknya, karena kondisi yang mengharuskan pernikahannya itu
dibatalkan. Dan jika suami pertama lebih memilih untuk meminta maharnya, maka
ia berhak mengambil maharnya dari suami yang kedua, yang ia berikan kepada
istrinya. (Al-Kafi, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi i:3/314-315)
E.
Nafkah Istri yang ditinggal suami
ü
Menurut Imam Ibnu Qudamah
Apabila
seorang istri lebih memilih bersabar, sampai perkara suaminya menjadi jelas.
Maka ia berhak mendapatkan nafkah seumur hidupnya, sampai ia mengetahui
perihal yang menimpa suaminya. Karena, pada kondisi ini ia masih dihukumi
sebagai seorang istri. Maka dirinya tetap mendapatkan nafkah dari suami yang
meninggalkannya. Begitu juga halnya, ketika suaminya diketahui masih
hidup. Akan tetapi, jika ternyata suaminya telah meninggal dunia.
Maka istriya mendapatkan
nafkah, sampai dirinya mengetahui kabar kematian suaminya atau kejelasan
kabar mengenainya. Dan seandainya ada sisa, maka sisa
harta tersebut harus dikembalikan. Begitu juga halnya, ketika
perkara tersebut dibawa dan diadukan kepada seorang hakim. Jika setelah itu,
hakim menentukan baginya masa menanti, maka baginya nafkah dimasa penantian dan
dimasa iddahnya. Akan tetapi jika setelah beriddah ia menikah, atau
hakim menceraikan hubungan keduanya, maka terputuslah nafkah yang ia dapatkan
dari suaminya yang pertama. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan daru
Al-Atsrom dan Al-Juzajani bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas pernah berkata,
يُنْفَقُ
عَلَيْهَا بَعْدَ فِيْ اْلعِدَةِ بَعْدَ اْلأَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ مَالِهِ
زَوْجِهِ جَمِيْعُهُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرِ وَعَشْرًا
“Wanita yang
ditinggal pergi suaminya diberi nafkah dari harta suaminya, ketika masa
menanti, yaitu selama 4 tahun dan Masa iddahnya yaitu selama 4 bulan lebih 10
hari. ( Diriwayatkan Al-Baihaqi ) (Al-Mughni, Ibnu Qudamah: 11/255)
Apabila
seorang istri yang ditinggal suaminya memilih bersabar, menunggu sampai datang
kejelasan kabar mngenai suaminya. Maka ia berhak mendapatkan nafkah serta
tempat tinggal selama ia menunggunya. Akan tetapi jika dihukumi cerai maka
terputuslah nafkahnya dengan terpisahnya hubungan mereka berdua (Al-kafi, Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi: 3/316)
ü
Menurut Imam As-Syafi’i berkata :
Seorang
wanita berhak mendapatkan nafkah dari suami yang meninggalkannya sejak
hari kepergiannya, sampai diketahui dengan yakin kabar kematian suaminya. Jika
hakim menyuruh istrinya supaya menunggu 4 tahun lamanya, maka ia tetap mendapat
nafkah, begitu juga ketika masa iddahnya. Lain halnya kalau wanita tersebut
menikah dengan orang lain, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami
yang meniggalkannya.. (Al umm: 6/240)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer